Tak henti-hentinya prestasi dan inovasi Pep Guardiola membuat penikmat sepakbola geleng-geleng. Setelah Sir Alex Ferguson melakukannya di Manchester United, hanya Pep yang bisa menyamai pencapaiannya. Ia memenangkan trofi Liga Inggris tiga kali beruntun sejak 2021 hingga 2023 bersama Manchester City.
Mantan pelatih Barcelona itu juga jadi yang terdepan soal inovasi pola permainan. Musim lalu, Pep dengan cerdasnya menyulap John Stones yang berposisi sebagai bek tengah menjadi gelandang bertahan. Mengandalkan kepiawaiannya mendistribusikan bola, Stones jadi elemen penting saat City bangkit dan menyalip Arsenal di puncak klasemen Liga Inggris 2022/23.
Bagaimana cara Pep Guardiola beradaptasi dan melakukan terobosan jitu sangat diapresiasi oleh banyak pelatih di dunia. Tapi untuk mencapai level kecerdasan dan kepekaan tersebut, Pep tak sendirian. Ada orang-orang hebat yang dalam beberapa tahun terakhir jadi mentornya saat melatih.
Johan Cruyff yang Menginspirasi
Padahal Pep Guardiola ini dikenal sebagai mentor yang baik. Tapi, sepandai-pandainya guru, ia juga pernah belajar. Salah satu sosok yang mengubah cara pandang Pep terhadap sepakbola adalah Johan Cruyff. Bahkan Pep dengan gamblang memuja-muja legenda Ajax Amsterdam tersebut.
Meski pada dasarnya Pep adalah orang yang gemar memuji kawan maupun lawan, tapi pujiannya terhadap Cruyff terasa berbeda. “Johan Cruyff adalah sosok unik, sangat-sangat unik. Tanpanya, saya tak akan pernah berada di titik ini.” Kalimat tersebut terlontar ketika Pep diwawancarai The Guardian beberapa tahun lalu.
Jika Pep sudah berkata demikian, lantas seberapa berpengaruhnya Johan Cruyff di karir kepelatihannya? Bisa dibilang Cruyff lah yang mengenalkan makna sebenarnya dari sepakbola kepada Pep. Saking banyaknya ilmu yang diserap, Pep bahkan merasa seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa tentang sepakbola di hadapan Cruyff.
Pelatih Manchester City itu mengenal Cruyff di Barcelona pada awal tahun 1990-an. Sejarah mengajarkan kita bahwa pemain terbaik tidak selalu tumbuh menjadi manajer yang baik pula. Tapi menurut Pep, legenda Timnas Belanda itu jadi salah satu pengecualian ketika membangun tim terbaik bersama Barcelona.
Dream team yang dibangun Cruyff berhasil menjuarai 11 trofi hanya dalam tempo delapan tahun setelah sebelumnya mereka hanya mampu menjuarai liga sebanyak satu kali saja dalam waktu 11 tahun. Di era emas tersebut, Guardiola menjadi pengumpan ulung dan jantung permainan Barcelona.
Johan Cruyff banyak membantu Pep dalam bagaimana cara memahami pola permainan. Menurut Pep, sepakbola adalah olahraga paling sulit karena terbuka dan setiap situasi benar-benar berbeda dan Anda harus membuat keputusan menit demi menit. Namun, setelah bertemu dengan Cruyff semua menjadi lebih mudah.
Cruyff mengajarkan bahwa sepakbola sebetulnya tak serumit itu. Sepakbola bisa dimainkan dengan sederhana. Tapi sepakbola yang sederhana justru yang paling sulit dimainkan. Setelah itu sudut pandang Pep pun berubah. Pep bahkan selalu meneleponnya apabila membutuhkan saran.
Berguru Hingga ke Meksiko
Tak puas hanya belajar dari Johan Cruyff, Pep menambahkan nama Juan Manuel Lillo dalam daftar mentor kepelatihannya. Meski Lillo sempat menyandang sebagai pelatih termuda La Liga kala melatih Salamanca di musim 1995/96 ketika masih berusia 29 tahun, namanya tak setenar Johan Cruyff.
Pertemuan pertama Pep Guardiola dengan Lillo terjadi di La Liga tahun 1998. Saat itu, Pep masih berstatus pemain Barcelona, bertanding dengan tim asuhan Lillo, Real Oviedo. Usai pertandingan, tanpa ragu Pep menghampiri ruang ganti Real Oviedo untuk menemui Lillo. Dengan terbuka Pep menyampaikan kekagumannya kepada pola permainan yang diusung Lillo. Sejak saat itu, mereka jadi sering berdiskusi soal bola.
Sempat terpisah lama karena Pep memutuskan hijrah ke Brescia dan membangun karir di Serie A, keduanya kembali bertemu di Meksiko. Bukan saat liburan musim panas, melainkan di sebuah klub bernama Dorados. Jika kalian ingat, di penghujung karirnya Pep sempat nganggur selama enam bulan sebelum akhirnya mengejutkan dunia dengan bergabung klub Meksiko, Dorados Sinaloa tahun 2006.
Dilansir situs resmi Manchester City, ternyata yang mendasari keputusan Pep untuk bermain di klub antah berantah itu adalah karena Dorados merupakan tim yang dilatih oleh Juan Manuel Lillo. Pep ingin banyak belajar darinya karena Lillo merupakan pelatih yang menemukan pola 4-2-3-1.
Jadi, saat bermain di Meksiko, konsentrasi Pep mulai terpecah. Antara bermain sepakbola dan mempersiapkan karir kepelatihannya. Menurut beberapa sumber, Pep bahkan selalu membawa buku catatan di setiap sesi latihan untuk mencatat seluruh metode yang diajarkan oleh pria kelahiran Tolosa, Spanyol itu.
Setelah enam bulan bermain di Meksiko, Pep memutuskan pensiun dan menjadi pelatih. Barcelona jadi klub pertama yang ia latih. Menariknya, pada tahun 2019 saat Mikel Arteta ditunjuk menjadi pelatih Arsenal, Pep menunjuk Lillo untuk menjadi asistennya di Manchester City. Mereka kembali bekerja sama selama kurang lebih dua tahun.
Mendengar Petuah Si Gila
Di tahun yang sama saat membela Dorados, Pep tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengeksplor Benua Amerika. Bukannya ke Grand Canyon atau menonton pertunjukan Tari Tango di Rio de la Plata, Pep justru terbang ke Rosario untuk menyambangi rumah salah satu pelatih kawakan Argentina, Marcelo Bielsa.
Sama halnya dengan Pep Guardiola, Bielsa juga seorang cendekiawan dalam sepakbola. Tiada hari tanpa belajar. Tiada waktu tanpa membicarakan dan mendalami permainan sepakbola. Sistem 3-3-3-1 yang digunakan Bielsa ketika melatih timnas Argentina dan Chile, serta beberapa klub macam Espanyol dan Athletic Bilbao telah menarik perhatian Pep.
Selama enam bulan itu pula, Pep sering bolak-balik Sinaloa-Rosario demi bisa mengobrol dengan Bielsa. Selama waktu itu pula mereka berdua mengakrabkan diri melalui diskusi-diskusi ringan soal manajemen dan sepakbola. Guardiola butuh diyakinkan, apakah karir kepelatihan adalah langkah yang tepat untuknya.
Kepada Bielsa, Pep juga banyak belajar kalau sepakbola bukan hanya soal mencetak gol dan menang. Melainkan ada sisi emosional yang harus dibangun dengan fans. Menurut Bielsa, tim asuhannya harus menang dengan gaya yang berbeda. Gaya yang bisa menancap di ingatan penonton dan fans yang hadir di stadion.
Pep Menurunkan Ilmunya
Sistem permainan yang diusung Pep Guardiola di awal-awal masa kepelatihannya tak lepas dari campur tangan ketiga pelatih tersebut. Di Barcelona contohnya, gaya Cruyff dan Lillo sangat kental terlihat di setiap inci permainan.
Pep bahkan meniru gaya sesi latihan Juan Manuel Lillo yang tak pernah mengelompokan pemain sesuai posisinya. Ia menyatukan seluruh skuad dan mengatur tim ke dalam posisi dengan atau tanpa bola. Seiring berjalannya waktu, pengalaman mengajarkan Guardiola untuk sedikit memodifikasi gaya bermainnya.
Eksperimen-eksperimen gila pun mulai membuat pelatih lain berkata “kok bisa kepikiran ya?”. Pelatih berkepala plontos itu pun tak serakah ilmu. Layaknya seorang guru, Pep terus menyalurkan ilmu-ilmunya kepada pelatih muda atau bakal calon pelatih di masa depan.
Cukup banyak pelatih yang terinspirasi dari gaya melatih Pep. Di Liga Inggris musim depan saja ada Mikel Arteta, Vincent Kompany, hingga Erik Ten Hag yang bisa dikatakan sempat menimba ilmu kepada Pep Guardiola. Dalam sedekade terakhir, Pep memang pantas disebut pelatih terbaik di dunia. Tapi ia tak akan pernah sampai di titik ini tanpa orang-orang hebat yang menginspirasinya.
Sumber: Sky Sport, Manchester City, The Guardian, Sportskeeda